Kamis, 29 September 2011
GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN HEPATITIS B SURFACE ANTIGEN (HBsAg) PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH TAHUN 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis atau peradangan hati dapat diartikan sebagai suatu proses peradangan yang menimpa sel-sel hati. Hepatitis merupakan penyakit yang serius dan yang banyak dikenal sebagai penyakit kuning. Penyebab hepatitis diantaranya adalah akibat virus, bahan kimia, obat-obatan, dan alkohol. Saat ini penyakit hepatitis yang sering menjadi masalah adalah hepatitis virus, terutama akibat virus hepatitis B, karena jenis hepatitis ini sering menimbulkan hepatitis kronis yang dapat berakhir menjadi sirosis hati dan kanker hati (Cahyono, 2009).
Infeksi virus hepatitis B merupakan infeksi sistemik, disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang dapat menimbulkan perubahaan klinis, biokimiawi serta seluler yang khas. Saat ini ada sekitar 350 juta orang di dunia atau kurang lebih 5% populasi dunia terinfeksi virus hepatitis B. Area dengan prevalensi tinggi untuk terinfeksi hepatitis B adalah, Asia Tenggara, Cina, Afrika dan Indonesia. Angka kejadian Hepatitis B positif di Indonesia berkisar antara 3-17%. Tingginya angka prevalensi hepatitis B di Indonesia terkait dengan terjadinya infeksi virus hepatitis B pada masa dini kehidupan (Rubenstein,2002).
Hepatitis B memiliki berbagai cara penularan, yang paling besar adalah melalui transfusi darah, pemberian infus, suntikan, kecelakaan karena tertusuk jarum atau peralatan bedah yang terkontaminasi. Penularan juga dapat terjadi dari ibu ke anak melalui proses persalinan, pemakaian bersama sikat gigi dan alat cukur, kontak seksual dengan banyak pasangan, akupuntur, dan peralatan yang digunakan untuk pembuatan tato (Reeves, 2001).
Individu yang beresiko terinfeksi hepatitis B adalah dokter bedah, pekerja laboratorium klinik, dokter gigi, perawat, terapis respiratorik, bayi yang dilahirkan oleh ibu HBsAg positif, laki-laki biseksual dan homoseksual dan penderita gagal ginjal kronik yang melakukan terapi hemodialisa (Smeltzer, 2002).
Angka penularan hepatitis B pada penderita gagal ginjal kronik yang melakukan terapi hemodialisa sangat tinggi. Sebanyak 50% penderita hemodialisa yang terinfeksi virus hepatitis B dapat menjadi pembawa HBsAg yang kronik. Hepatitis B surface antigen merupakan protein yang dilepaskan oleh virus hepatitis B setelah masa inkubasi 4 sampai 10 minggu dalam tbuh penderita yang sedang terinfeksi. Oleh karena itu HBsAg dapat digunakan sebagai penanda atau marker terjadinya infeksi hepatitis B (Anonim1,2010).
Beberapa aspek yang mempengaruhi peluang terjadinya infeksi hepatitis B pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa yaitu, penggunaan mesin hemodialisa, perawatan sistem pembuangan di klinik hemodialisa serta menurunnya fungsi organ vital untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit. Selain itu resiko penularan infeksi hepatitis B dapat terjadi akibat pemberian transfusi darah yang berulang (Anonim1,2010).
Transfusi darah bukan lagi merupakan hal asing bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa. Kerusakan ginjal yang kronik dan progresif akan berdampak pada produksi hormon eritoprotein. Hal ini menyebabkan pasien gagal ginjal kronik dapat mengalami anemia. Selain untuk memperbaiki kondisi anemia, transfusi digunakan untuk meningkatkan kadar hemoglobin (Hb) sebagai syarat untuk menjalani hemodialisa (Anonim1,2010).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis terdorong untuk mengetahui lebih lanjut bagaiman gambaran hasil pemeriksaan HBsAg pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2010
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan didepan, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian adalah “Bagaimanakah gambaran hasil pemeriksaan HBsAg pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2010”
C. Tujuan Pemeriksaan
a. Tujuan umum
Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan HBsAg pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Panti Rapih pada Bulan Januari-Desember 2010.
b. Tujuan khusus
Mengetahui hasil prevalensi positif atau negatif HBsAg berdasarkan jenis kelamin, dan rentang usia
D. Ruang Lingkup
Jurusan Ruang Lingkup Cakupan
Analis Kesehatan Bidang Analis Kesehatan Imunologi
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Peneliti diharapkan dapat bertambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman, secara lebih mengenai pemeriksaan hepatitis B pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang imunologi mengenai gambaran hasil pemeriksaan hepatitis B pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
3. Bagi Masyarakat
Menambah informasi pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa bisa mengalami komplikasi dengan hepatitis B, apabila mesin hemodialisa yang digunakan sterilisasinya kurang sempurna atau kurang memenuhi syarat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Infeksi virus hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah dunia karena virus ini menyebar keseluruh penjuru dunia. Saat ini ada sekitar 2 milyar orang yang terinfeksi hepatitis B, Dari jumlah tersebut 470.000-520.000 orang meninggal akibat sirosis hati atau kanker hati. Karena demikian erat hubungan antara infeksi Virus Hepatitis B dan kejadian kanker hati, virus hepatitis B digolongkan sebagai karsinogen (merangsang sel hati menjadi sel ganas) (Cahyono, 2009).
a. Epidemologi
Diseluruh dunia diperkirakan 316 juta orang pembawa virus hepatitis B dan sekitar 170 orang bermukim didaerah Asia Pasifik. Virus hepatitis B ditemukan sepanjang tahun khususnya di Asia Tenggara temasuk Indonesia dengan prevalensi tergolong tinggi yaitu berkisar antara 6-17%. Menurut Hadi (2000), dari laporan 10 cabang laboratorium di Indonesia yang melakukan pemeriksaan HBsAg terhadap 40.035 orang secara ELISA ditemukan sebanyak 17,78% positif HBsAg.
b. Virus hepatitis B
Virus hepatitis B berasal dari genus Orthohepdanavirus dan familinya adalah Hepdanaviridae yang secara spesifik menyerang hati. Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg dan rekannya di Australia sehingga disebut dengan Australia antigen. Saat ini Australia antigen dikenal sebagai permukaan virion hepatitis B dan dinamai hepatitis B surface antigen (HBsAg) (Reeves, 2001).
Gambar 1 adalah struktur virus hepatitis B dalam darah penderita yang terinfeksi virus hepatitis B. Ditemukan 3 bentuk HBsAg yaitu, selubung luar berupa partikel Dane berukuran 42 nm, partikel HBsAg yang berbentuk bulat dengan ukuran 17-25 nm dan partikel HBsAg yang berbentuk tubular dengan ukuran 22 nm yang memiliki panjang bervariasi. HBsAg terdiri dari 3 jenis protein, yaitu major protein/small protein (SHBs) dikode oleh gen S, middle protein (SHBs) dikode oleh gen S dan pre-S2, dan large protein (LHBs) dikode oleh gen S, pre-S1 dan pre-S2 (Soemoharjo, 2008).
Gambar 1. Struktur virus hepatitis B ,
Sumber: (Soemoharjo, 2008)
Gambar 2 adalah replikasi Virus hepatitis B dimana virus tersebut akan menempel (attachment) pada sel hepatosit. Penempelan tersebut dapat terjadi dengan perantaraan protein pre-S1 dan pre-S2. Selanjutnya virus hepatitis B akan masuk (penetrasi) ke dalam hepatosit dengan mekanisme endositosit. Pelepasan partikel core yang terdiri dari HBcAg ke dalam sitoplasma akan ditransportasikan menuju nukleus hepatosit, karena ukuran nukleus yang lebih kecil dari partikel core sebelum masuk nukleus akan terjadi genom release (lepasnya HBcAg), dan selanjutnya genom virus hepatitis B yang masih berbentuk partially double stranded masuk ke dalam nukleus.
Selanjutnya partially double stranded DNA akan mengalami proses DNA repair menjadi double stranded covalently close circle DNA (ccc DNA). Transkripsi cccDNA menjadi pregenom RNA dan beberapa messenger RNA (mRNa LHBs, mRNA MHBs, dan mRNA SHBs). Translasi pregenom RNA dan messenger RNA akan menghasilkan HBcAg, HBeAg dan enzim polymerase. Pada proses transkripsi balik pregenom RNA akan dimulai dengan proses sintesa untai DNA negatif yang terjadi bersamaan dengan degradasi pregenom RNA, dan berakhir dengan sintesa untai DNA positif.
Masa paruh hidup ccc DNA di dalam nukleus hanya 2-3 hari, untuk mempertahankan persistensi diperlukan suplai genom terus menerus. Suplai DNA tersebut bisa berasal dari infeksi baru hepatosit oleh virus hepatitis B atau proses re-entry partikel core yang dihasilkan dalam sitoplasma. Selanjutnya akan terjadi proses maturasi genom oleh protein HBsAg di dalam retikulum endoplasma, melalui apparatus golgi akan disekresi partikel-partikel virus hepatitis B yaitu partikel Dane, tubular, dan bulat. Hepatosit juga akan mensekresikan HBeAg langsung ke dalam sirkulasi darah karena HBeAg bukan merupakan struktural partikel virus hepatitis B (Soemoharjo, 2008).
Gambar 2. Replikasi virus hepatitis B
Sumber: (Soemoharjo, 2008)
c. Penularan dan Faktor Resiko Infeksi Virus Hepatitis B
Penularan infeksi virus hepatitis B dapat terjadi melalui dua cara, penularan secara vertikal, yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal. Penularan lainnya adalah secara horizontal, yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya. Penularan ini melalui hubungan seksual, melalui transfusi darah yang terkontaminasi oleh virus hepatitis B, dan pasien gagal ginjal kronik yang sering melakukan hemodialisa, memiliki kemungkinan untuk terinfeksi hepatitis B dengan prevalensi HBsAg yang lebih tinggi (Hadi, 2000).
Selain itu virus hepatitis B dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka atau lecet pada kulit misalnya tertusuk jarum atau benda tajam, menindik telinga, kebiasaan menyuntik diri sendiri, penggunaan alat kedokteran dan alat-alat perawatan gigi yang sterilisasinya kurang sempurna/kurang memenuhi syarat. Penularan juga dapat terjadi melalui penggunaan alat cukur dan sikat gigi secara bersamaan (Siregar, 2008).
Beberapa kelompok individu yang mempunyai resiko tinggi tertular virus hepatitis B seperti penyalahgunaan obat secara parenteral, petugas kesehatan, orang-orang yang mendapatkan transfusi darah, penduduk yang kehidupan seksnya bebas, bayi yang baru lahir dari ibu HBsAg positif dan penderita gagal ginjal kronik yang melakukan hemodialisa (Jawetz, 2003).
d. Patofisiologis Infeksi Virus Hepatitis B
Kelainan sel hati pada infeksi virus hepatitis B disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi virus hepatitis B. Pada kasus hepatitis B akut respon imun dapat mengeliminasi sel hepar yang terinfeksi virus hepatitis B sehingga terjadi nekrosis pada sel yang mengandung virus hepatitis B dan muncul gejala klinik yang kemudian diikuti kesembuhan. Sebagian penderita respon imun tersebut tidak berhasil menghancurkan sel hati yang terinfeksi sehingga virus hepatitis B terus menjalani replikasi.
Setelah virus masuk ke dalam tubuh, virus tersebut akan masuk ke dalam peredaran darah, dari peredaran darah partikel Dane akan masuk ke dalam hati selanjutnya akan terjadi proses replikasi virus dalam sel hati. Setelah itu, sel-sel hati akan memproduksi dan mengekresi partikel Dane secara utuh serta partikel HBsAg bentuk bulat dan tubular yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus hepatitis B akan merangsang respon imun tubuh pertama kali adalah respon imun nonspesifik, karena respon imun ini dapat terangsang dalam waktu pendek yakni dalam beberapa menit sampai jam. Respon imun ini antara lain adalah kenaikan kadar interferon (IFN) alfa, dengan gejala berupa badan terasa panas dan malaise (Handojo,2004).
e. Penanda Seroligik Infeksi Virus Hepatitis B
Gambar 3 adalah penanda serologik HBsAg, yang mulai menunjukan hasil positif di dalam darah sekitar 6 minggu setelah infeksi hepatitis B. bila HBsAg tetap positif setelah 6 bulan infeksi hepatitis B menetap. Anti-HBs muncul 3 bulan setelah gejala awal. Parameter ini merupakan penanda kesembuhan dan kekebalan. Hepatitis B e antigen (HBeAg) berhubungan denngan sintesis virus dan daya tular virus. HBeAg muncul dalam waktu pendek. Munculnya anti-HBe merupakan tanda bahwa penderita akan sembuh sempurna. Pemeriksaan Immunoglobulin M (IgM) anti-HBe positif dalam titer tinggi dan waktu yang lama menunjukan hepatitis B kronik. Immunoglobulin G (IgG) anti-HBe dalam titer yang tinggi tanpa adanya anti-HBs menunjukan persistensi dari infeksi virus hepatitis B (Soemoharjo,2008).
Gambar 3. penanda serologis infeksi virus hepatitis B
Sumber: (Soemoharjo, 2008)
f. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Hepatitis B
Secara klinis gejala penyakit hepatitis B sangat menyerupai dengan hepatitis A, namun masa inkubasinya jauh lebih lama sekitar 50-180 hari tergantung faktor pejamu (Mansjoer, 2000). Setelah masa inkubasi berakhir, akan terjadi gejala prodormal yang dapat berupa anoreksia, mual, muntah, mialgia, altralgia selama 1-2 minggu. Fase ini disusul dengan fase ikterik yang ditandai dengan timbulnya ikterus dengan berkurangnya keluhan-keluhan prodormal. Kadang-kadang terdapat tanda kolestasis yang disertai ikterus berkepanjangan serta gatal-gatal. Setelah fase ikterik yang berlangsung selama beberapa minggu, penderita masuuk ke dalam fase penyembuhan. Selama fase penyembuhan gejala-gejala konstitusional menghilang tetapi hepatomegali masih tetap ada dan kelainan-kelainan biokimia masih tampak. Penyembuhan sempurna berkisar 1-2 bulan tetapi dapat mencapai 4 bulan (Anonim2, 2010).
g. Pemeriksaan Laboratorium Infeksi Virus Hepatitis B
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan kimia klinik, dan imunologi. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan (Anonim3, 2010)
a. Kimia klinik
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya penyakit hepatit[s perlu dilakukan serangkaian tes fungsi hati yang berkaitan dengan kerusakan hati, antara lain Serum Glutamic Pyruvat Transaminase (SGPT), Serum Glutamic Oxoaloacetic Transaminase (SGOT), Gamma GT, dan alkali fosfatase akan mengalami peningkatan, sedangkan pada pemeriksaan albumin serum mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis oleh hati (Rosita, 2008).
b. Imunologi
Pemeriksaan hepatitis secara imunologi meliputi pemeriksaan HBsAg, HBeAg, antiHBe dan HBV DNA. Hepatits B surface antigen (HBsaAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg) keduanya adalah antigen. Fungsi pemeriksaan HBsAg adalah untuk mengetahui apakah pasien merupakan penderita hepatits B, yang ditandai dengan HBsAg positif. Sedangkan fungsi pemeriksaan HBeAg adalah untuk mengetahui apakah adanya replikasi virus dalam hepatosit (sel hati). Hepatitis B e antigen (HBeAg) berkaitan erat dengan HBV DNA, yaitu DNA virus hepatits B. pada beberapa kasus, ada yang nilai HBeAg-nya negatif namun bukan pertanda mutlak bahwa yang bersangkutan tidak memiliki virus, misalnya pada penderita hepatitis B yang mengalami mutasi (Komala,2010).
Metode pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Enzyme-linked Fluorescence Assay (ELFA) dan Radio Immunoassay (RIA). Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah teknik berlabel enzim untuk menetapkan adanya antigen atau antibody, ELISA merupakan metode yang paling peka dan khas dalam menemukan HBsAg. Pada pemeriksaan yang menggunakan metode ELISA akan ditemukan titer IgM spesifik yang tinggi dalam serum penderita HBsAg (Jawetz,2003). Enzyme-linked Fluorescence Assay (ELFA) adalah pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan adanya HBsAg yang terdapat dalam serum pasien. Radio Immunoassay (RIA) (pemeriksaan cepat), pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan ada tidaknya virus hepatitis B dalam tubuh pasien, serta untuk menentukan derajat infektivitas atau replikasi virus (Handojo,2004).
2. Gagal Ginjal Kronik
a. Pengertian
Gagal ginjal kronik adalah kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Serta penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat seperti hipertensi yang tidak dapat dikontrol serta gangguan vaskuler (Colvy, 2010).
b. Epidemiologi
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik meningkat setiap tahunnya. Center for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16,8% dari populasi penduduk usia diatas 20 tahun mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Di Negara-negara berkembang, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun. Sedangkan di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi diperkirakan penyakit gagal ginjal kronik berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dengan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk (Firmansyah, 2010).
c. Gejala klinis
Stadium paling dini gejala klinis penyakit ginjal kronik adalah terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve). Keadaan ditandai basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum (Firmansyah, 2010).
Apabila laju filtrasi glomerulus (LFG) masih sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Apabila laju filtrasi glomerulus mencapai 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Jika laju filtrasi glomerulus di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya (Mahdiana, 2010).
Pasien gagal ginjal kronik mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipovolemia atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi hemodialisa (Mahdiana, 2010).
d. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Gambaran umum perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) dengan rusaknya massa nefron secara progresif oleh penyakit ginjal kronik. Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti (Anonim4,2010).
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti (wibowo,2010).
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis. Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut (Smeltzer,2002).
e. Pemeriksaan Laboratorium Gagal Ginjal Kronik
Pemeriksaan laboratorium untuk gagal ginjal kronik meliputi pemeriksaan
1. Kimia Klinik
Pemeriksaan secara klinik ditemukan penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar natrium dan kreatinin serum, penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), penurunan kadar hemoglobin, hiperkloremia, hiperfasfotemia, hipoaklesemia dan asidosis metabolik serta peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) yang menunjukan adanya dehidrasi dan peningkatan protein, serta pada pemeriksaan urinalisa terjadi kelainan proteinuria dan hematuria (Doenges.2002).
2. Hematologi
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik, normokrom dan terdapat sel burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal (Wibowo,2010).
3. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal dan gangguan elektrolit, dan juga untuk mengetahui penyebab glomerulonefritis, dan tes penyaringan sebagai persiapan sebelum hemodialisa ( biasanya pada hepatitis B) (Wibowo,2010).
f. Infeksi Hepatitis B pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Virus hepatits B merupakan virus yang paling umum untuk mennyebabkan terjadinya infeksi hepatitis B pada pasien yang menjalani hemodialisa. Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa merupakan resiko yang sangat tinggi untuk terjadi transmisi hepatitis B. dari data yang diperoleh sebanyak 50% penderita hemodialisa yang terkena hepatitis B dapat menjadi pembawa HBsAg kronis. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) dalam serum dengan konsentrasi tinggi dapat menjadi penanda atau marker adanya infeksi virus hepatitis B (Smeltzer,20002).
Pasien gagal ginjal kronik merupakan kelompok yang beresiko tinggi terpapar infeksi virus hepatitis B karena dipengaruhi oleh gangguan sistem kekebalan tubuh humoral dan seluler, transfusi darah, menggunakan mesin atau berbagi ruangan dengan pasien terinfeksi virus hepatitis B (Anonim5,2008).
B. Kerangka Konsep
Pasien gagal ginjal kronik yang melakukan terapi hemodialisa, akan mengalami transfusi secara berulang akibatnya pasien tersebut akan terinfeksi HBsAg.
Gambar 4. Kerangka konsep
C. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan HBsAg pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RS Panti Rapih Yogyakarta?
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran tentang suatu keadaan terhadap sekumpulan obyek yang biasanya cukup banyak dan dalam waktu tertentu.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Yaitu pengambilan data hasil pemeriksaaan hepatitis B pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa pada bagian rekam medis
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan April-Mei 2011
C. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa.
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil pemeriksaan hepatitis B
3. Variabel pengganggu
Variabel pengganggu pada penelitian ini adalah validasi data
D. Hubungan antar variabel
Gambar. 5. Hubungan antar variabel
E. Defenisi Operasional
1. Variabel bebas
Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu pasien yang didiagnosa menderita gagal ginjal kronik dan harus melakukan terapi hemodialisa.
Skala: nominal
2. Variabel terikat
Hasil pemeriksaan hepatitis B yaitu hasil pemeriksaan HBsAg menggunakan metode ELISA dengan hasil positif atau negatif
Skala: nominal
3. Variabel pengganggu
Validitas data merupakan kesesuaian data yang diperoleh dengan data sebenarnya.
Skala: Nominal
F. Jalannya Penelitian
Penelitian dilakukan secara sekunder, yaitu pengambilan data penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, dari data tersebut diambil data penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yang terinfeksi hepatitis B kemudian dilakukan analisis secara statistik dan yang akan disajikan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat pada gambar 6
Gambar.6. Jalannya penelitian.
G. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah data pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada bulan Januari-Desember 2010.
b. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh data pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa pada bulan Januari-Desember 2010 di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
H. Teknik pengumpulan data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik pengumpulan data sekunder yaitu data hasil pemeriksaan HBsAg yang diperoleh dari rekam medis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta bulan Januari-Desember 2010.
I. Pengolahan dan Analisis Data
Semua hasil dalam penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif. Setelah data terkumpul dan disusun dalam bentuk tabel. Hasil pemeriksaan terhadap HBsAg pada pasien gagal ginjal akan dikelompokan berdasarkan rentang usia, dan jenis kelamin. Data yang diperoleh akan dianalisa secara statistik deskriptif dengan cara presentase.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan di RSU Panti Rapih Yogyakarta pada bulan Mei tahun 2011, dengan mengambil data sekunder pasien gagal ginjal kronik yang dirawat di RSU Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2010. Diperoleh data sebanyak 105 data pasien gagal ginjal kronik. Adapun distribusi datanya sebagai berikut:
Tabel 3. Distribusi Penderita Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Jenis Kelamin di RSU Panti Rapih pada tahun 2010
No Jenis Kelamin Jumlah Prosentase (%)
1 Laki-laki 61 58,1%
2 Perempuan 44 41,9%
105 100 %
Berdasarkan tabel 3 di atas, diketahui bahwa dari 105 pasien gagal ginjal kronik, laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dengan prosentase 58,1% dan 41,9%.
Hasil penelitian kami sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoesin (2000) yang menemukan bahwa, penderita gagal ginjal kronik laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 3:1. Hal ini disebabkan karena laki-laki lebih sering menunda melakukan pemeriksaan, serta pada laki-laki kadar kreatinin dan ureum lebih besar dari pada wanita. Sehingga dikatakan bahwa kasus gagal ginjal kronik prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Jumlah penderita gagal ginjal kronik yang melakukan hemodialisa lebih banyak dibandingkan yang tidak melakukan hemodialisa dengan prosentase 54% (57) dan 45% (48) dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Perbandingan Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa dan Non Hemodialisa di RSU Panti Rapih Yogyakarta Pada Tahun 2010
Data yang diperoleh dari hasil penelitian diatas sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Riswanto (2003) menyatakan bahwa, penderita gagal ginjal kronik banyak melakukan hemodialisa. Hal ini disebabkan karena kadar ureum dan kreatinin dalam darah sangat tinggi oleh karena itu tindakan hemodialisa merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien dengan tujuan menurunkan kadar ureum, kreatinin serta menghilangkan zat-zat toksik lainnya dalam darah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 105 penderita gagal ginjal kronik, hasil pemeriksaan HBsAg yang dilakukan di Rumah sakit Panti Rapih dengan menggunakan metode ELFA ditemukan hasil positif berjumlah 55 pasien. Sedangkan untuk jumlah HBsAg positif pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan tidak menjalani hemodialisa dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Jumlah HBsAg Positif Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa dan Non Hemodialisa di RSU Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2010
No Penderita Gagal Ginjal Kronik HBsAg positif Prosentase (%)
1 Hemodialisa 35 33,33
2 Non Hemodialisa 20 19,05
Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa lebih banyak menderita HBsAg Positif (33,33%) dibandingkan dengan yang tidak menjalani hemodialisa (19,05%).
Hasil penelitian kami sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2004) mengatakan bahwa, penderita gagal ginjal kronik yang melakukan terapi hemodialisa secara berkala, angka penularan hepatitis B memiliki prevalensi yang sangat tinggi. Terapi hemodialisa tidak menyebabkan fungsi ginjal menjadi membaik, orang yang melakukan terapi akan memiliki ketergantungan pada mesin hemodialisa, oleh karena itu terapi hemodialisa merupakan suatu tindakan invasif yang mempunyai resiko untuk terjadinya infeksi HBsAg empat sampai lima kali lebih tinggi. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh menurunnya sistem imunitas tubuh, perawatan sistem pembuangan di unit hemodialisa serta penggunaan mesin hemodialisa.
Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan HBsAg positif banyak diderita oleh pasien yang berusia diatas 50 tahun ( tabel 5 ).
Tabel 5. Jumlah HBsAg Positif Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa Berdasarkan Rentang Usia dan Jenis Kelamin di RSU Panti Rapih Tahun 2010
No Usia Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Jumlah Prosentase (%) Jumlah Prosentase (%)
1 <40 9 8,57 7 6,67
2 40-50 15 14,29 10 9,52
3 51-60 13 12,38 19 18,10
4 >60 18 17,14 14 13,33
Jumlah 55 52,38 50 47,62
Hasil penelitian diatas sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alper (2008) menyatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan HBsAg positif adalah penderita dengan usia 51 tahun keatas jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan penderita yang usianya 50 tahun ataupun di bawahnya. Hal ini dikatakan karena faktor resiko gagal ginjal kronik adalah peningkatan umur, semakin tua seseorang semakin beresiko mengalami gagal ginjal kronik dengan HBsAg positif, dan juga proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk menggantikan sel-sel yang mengalami kerusakan.
Hasil penelitian diatas menunjukan bahwa penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan HBsAg positif banyak diderita oleh penderita laki-laki dibandingkan dengan perempuan prosentasenya adalah 52,38% dan 47,62% (tabel 5).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sofianto (2006), laki-laki lebih banyak menderita HBsAg positif dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena perbedaan gaya hidup antara laki-laki dan perempuan, sebagai contoh pemakaian tatto, homoseksual dan pemakai narkoba cenderung lebih banyak terjadi pada laki-laki, disamping itu kesadaran berobat laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan perempuan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dengan transfusi HBsAg positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak melakukan transfusi dengan prosentase 58,10% (61) dan 41,90% (44) (gambar 8).
Gambar 8. Jumlah HBsAg Positif Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa dengan Transfusi dan Non Transfusi di RSU Panti Rapih Yogyakarta Pada Tahun 2010
Menurut Melnick (2002), pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan menerima transfusi HBsAg positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menerima transfusi. Walaupun transmisi hepatitis B melalui transfusi sudah hampir tidak terdapat lagi berkat screening HBsAg pada darah pendonor, akan tetapi angka kejadian hepatitis B tetap tinggi hal ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi hepatitis B yang tersamar yaitu infeksi dimana HBsAg negatif tetapi HBV-DNA positif, dan juga disertai adanya transmisi virus hepatitis B melalui beberapa jalur yaitu parenteral, dan perinatal.
Pasien yang menjalani hemodialisa harus melakukan transfusi secara berkala, hal ini digunakan untuk meningkatkan kadar hemoglobin (Hb) sebagai syarat untuk menjalani hemodialisa. Oleh karena itu orang yang hemodialisa dengan pemberian tranfusi berulang mempunyai insidensi hepatitis B dan pembawa HBsAg yang sangat tinggi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa selama tahun 2010 di RSU Panti Rapih Yogyakarta ditemukan kasus sebagai berikut:
1. Penderita gagal ginjal kronik lebih banyak diderita oleh laki-laki (58,1%) jika dibandingkan dengan perempuan (41,9%).
2. Penderita gagal ginjal kronik yang melakukan hemodialisa lebih banyak dibandingkan yang tidak melakukan hemodialisa dengan prosentase 54% dan 45%.
3. Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa lebih banyak menderita HBsAg positif dibandingkan dengan yang tidak menjalani hemodialisa dengan prosentase 55,24% dan 44,76%.
4. Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan HBsAg positif banyak diderita oleh penderita laki-laki dibandingkan dengan perempuan prosentasenya adalah 52,38% dan 47,62%.
5. Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan HBsAg positif banyak diderita oleh pasien yang berusia >60 tahun.
6. Penderita Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa dengan transfusi HBsAg Positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak melakukan transfusi dengan prosentase 58,10% dan 41,90%.
7. Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dan HBsAg positif banyak diderita oleh pasien yang berusia >60 tahun.
B. Saran
1. Kepada petugas Rumah sakit, disarankan untuk membantu memberikan informasi maupun keterangan mengenai gambaran pemeriksaan imunologi Hepatitis B survace antigen (HBsAg) pada penderita gagal ginjal kronik guna meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gagal ginjal kronik agar masyarakat dapat lebih waspada terhadap penyakit ini.
2. Kepada penderita gagal ginjal kronik yang terinfeksi HBsAg, agar selalu memeriksakan diri secara rutin untuk menghindari dampak yang lebih parah dari penyakit tersebut , sehingga tidak timbul penyakit lain akibat penyakit tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Rabu, 28 September 2011
entamoeba hartamani
MAKALAH PARASITIOLOGI
ENTAMOEBA HARTAMANNI
Disusun oleh
Nama :KASIRINUS NAI LIU
NIM : 10472
Kelas : A
Semester : II
AKADEMI ANALIS KESEHATAN MANGGALA YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2010/2011
DAFTAR Isi
Halaman judul ............................................................................... 1
Daftaar isi ............................................................................... 2
Isi makalah ............................................................................... 3
a) Klasifikasi .................................................................. 4
b) Sejarah Antamoeba Hartamanni ......................................... 5
c) Hospes ................................................................... 6
d) Distribusi geografik ...................................................... 7
e) Morfologi ................................................................... 8
f) Siklus hidup ................................................................... 9
g) Diagnosis ................................................................... 6
h) Patologi ................................................................... 6
i) Habitat ................................................................... 6
Daftar pustaka ............................................................................... 7
Isi
Entamoeba Hartamanni
Klasifikasi
Filum :Protozoa
Class :Rhizopoda
Genus :Entamoeba
Spesies :Entamoeba Hartamanni
1.Sejarah Entamoeba hartamanni
Parasit ini termasuk antamoeba non-patogen siklus hidupnya mirip dengan Entamoeba histolytica tetapi tidak memiliki serbuan pangung dan tidak menelan sel darah merah.
Pada manusia belum diketahui karena biasanya tidak dipisahkan dengan entamoeba histolytica.fredmen dan elsdon-Dew (1959) menganjurkan garis pemisah antara kedua sepesies tersebut untuk ukuran trofozoit ukuran 12m dan untuk kista 10m.
Kedua sepesies ini perlu dibedakan patogenisitasnya.pada 1979 dibuktikan bahwa entamoeba hartamanni memiliki pola isoenzim yang berbeda dengan grup entamoeba histolytica (sargeaunt danwilliam ,1979 dalam LynneS Garcia, 1997).Pola isoenzim yang khas dari entamoeba hartamanni menyongkong pendapat dari Elsdon-Dew(1969) dan laporan W.H.O.Expret committee(1969) bahwa ameba ini merupakanspesies yang berbeda dengan entamoeba histolytica.
2.Hospe
Hospes entamoeba hartamanni adalah manusia.Termasuk protozoa dalam filum sarcomatigopora.amaeba ini termasuk non-patogen.Hospes yang lain adalah anjing dan kera.
3.Distribusi Geografik
Kosmopolit tersebar diseluruh dunia.
4.Morfologi dan siklus hidup
Stadium trofozoit Entamoeba hartamanni sulit dibedakan dangan Entamoeba histolytica .Diferensiasinya berdasarkan ukuran , perbedaan pertumbuhan dalam biakan dan sifat antigenetik serta struktur morfologinya.Ciri khas trofpzoit Entamoeba hartamanni kecil, sehingga sangat sulit untuk ditemukan.Trofozoit tidak makan sel darah merah, pergerakan lambat, mempunyai nucleus dan sitoplasma yang mirip dengan Entamoeba histolytica.Karena bentuknya yang mirip dangan Entamoeba histolytica
Amaeba ini hidup diusus besar dan skum sebagai komensal.Stadium trofozoit berukuran 5-12 mikron dengan ukuran rata-rata sekitar 8-10 mikron.Inti sel berukuran kecil, padat dengan kariosom terletak ditengah dan butiran kromatin perifer halus yang letaknya menyebar .Sitoplasma bergranula yang berisi bakteri dan tidak mengandung sel merah.
Stadium kista matang mempunyai inti 4, bentuknya bulat, berukuran kurang lrbih 5-10 mikron, rata-rata kista berukuran 6-8 mikron.Kista muda berinti satu atau dua dari inti akan tampak dengan prwarnaan yodium.Pada perwarnaan perubahan warna akan tampak mempengaruhi intu sel menjadi lebih kecil dengan ciri tersendri ,kariosom terletak ditengah dan butiran kromatin perifer yang halus .Vakuola glikogen yang tampak berbeda pada kista matang dan kista muda.Beda kromatid berbentuk bulat atau panjang tranmisi terjadi secara lansung dengan menelan kista matang.
5.Siklus hidup
Siklus hidup Entamoeba hartamanni sama dengan Entamoeba histolytica tetapi tidak memiliki serbuan panggung dan tidak menelan sel darah merah.
6.Diagnosis
Diagnosis denga menemukan stadium trofozoit atau kista didalam tinja.Masalah yang dihadapi pada diagnosis ini adalah entamoeba hartamanni merupakan jenis ameba pertama yang dianggappaling kecildibandingkan dengan Entamoeba histoytica.pada pemeriksaan lansung sangat sulit dibedakan morfologinya ,oleh sebab itu dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan trikrom.
7.Patplogi
Entamoeba Hartamanni dianggap non-patogen .walaupun Entamoeba hartamanni dianggap non-patogen,protozoa ini dapat dianggap sebagai indicator dari kontaminasi fecal.
8.Habitat.
Dalam rongga usus besar, non-patogen.
DAFTAR PUSTAKA
Sutanto,inge,ismed,Is suhariah,Sjarifuddin,PujinK ,Sungkar ,Saleha.Edisi
Keempat,2009,parasitioligi kedokteran,balai penerbit FKUI Jakarta.
Sandjaya,DMM,DTM & H.MSPH,Dr.Bernadus.Parasitiologi kedokteran
Protozoologi Kedoteran .Edisi 1,2007Presentasi Pustaka Plubiser:Jakart.
Zaman,Viqar, keong,loh,Ah ,Rukmono,prof,Dr.bintari,Oemijati,Prof.Dr.Sri,
Dan pribadi,dr Wita.parasitiologi kedokteran.1998.binacipta:Bandung.
Senin, 26 September 2011
BAKTERIOLOGI 1
Streptococcus pneumoniae
Klasifikasi
bakteri Streptococcus pneumoniae:
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Diplococcic
Ordo
: Lactobacillales
Family
: Streptoccoceae
Genus
: Streptococcus
Spesies
: Streptococcus pneumonia
1. Morfologi
Streptococcus
pneumoniae adalah sel gram positif berbentuk bulat
telur atau seperti bola, secara khas terdapat berpasangan atau rantai pendek.
Bagian ujung belakang tiap pasangan sel secara khas berbentuk tombak (runcing
tumpul), tidak membentuk spora dan tidak bergerak tetapi galur yang ganas
berkapsul, menghasilkan α-hemolisis pada agar darah dan akan terlisis oleh
garam empedu dan deterjen.
Streptococcus
pneumoniae (pneumokokus) membentuk koloni bulat
kecil, mula-mula berbentuk kubah dan kemudian timbul lekukan di
tengah-tengahnya dengan pinggiran yang meninggi dan α-hemolisis pada agar
darah. Pertumbuhan bakteri ditinggikan dengan 5-10% CO2. Energi yang diperoleh
kebanyakan dari peragian glukosa yang diikuti oleh pembentukan asam laktat yang
cepat, yangmembatasi pertumbuhan.Biakan pneumokokus mengandung beberapa organisme
yang tidak dapatmembentuk polisakarida simpai sehingga membentuk koloni kasar
tetapi sebagian besar bakteri menghasilkan polisakarida dan membentuk koloni
halus. Bentuk kasar akan banyak ditemui bila biakan ditumbuhkan pada serum
antipolisakarida tipespesifik. Bila suatu
tipe pneumokokus yang tidak mempunyai simpai polisakarida ditumbuhkan dalam
ekstrak DNA dan tipe pneumokokus yang menghasilkan polisakarida simpai akan
terbentuk pneumokokus bersimpai tipe terakhir. Reaksi transformasi yang serupa
pernah dilakukan dalam rangka perubahan resistensi obat.
2. Patogenesitas
Streptococcus
pneumoniae atau pneumokokus bisa mengakibatkan
infeksi ringan sampai parah pada saluran pernafasan atas dan bawah, dari
pertengahan telinga, hidung hingga paru-paru. Infeksi tersebut selanjutnya bisa
menyebar ke organ tubuh penting yang lain melalui aliran darah (invasif). Streptococcus pneumoniae dapat
menyebabkan penyakit pneumonia. Pneumonia adalah peradangan paru-paru yang
disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur
atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya
ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).
Pneumonia dikelompokkan berdasarkan
sejumlah sistem yang berlainan. Salah satu diantaranya adalah berdasarkan cara
diperolehnya, dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu "community-acquired"
(diperoleh diluar institusi kesehatan) dan "hospitalacquired" (diperoleh
di rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya). Pneumonia yang didapat diluar institusi
kesehatan paling sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae. Pneumonia yang didapat di rumah sakit cenderung bersifat lebih
serius karena pada saat menjalani perawatan di rumah sakit, sistem pertahanan
tubuh penderita untuk melawan infeksi seringkali terganggu. Selain itu,
kemungkinan terjadinya infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik
lebih besar.
Penularan
penyakit ini dapat melalui berbagai cara, antara lain:
1.
Inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar.
2.
Aliran darah, dari infeksi di organ tubuh yang lain.
3.
Migrasi (perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-paru.
4.
Menular melalui percikan air ludah
Orang
yang rentan terkena penyakit pneumonia adalah:
1.
Peminum alkohol
2.
Perokok
3.
Penderita diabetes
4.
Penderita gagal jantung
5.
Penderita penyakit paru obstruktif menahun
6.
Penderita kanker,penerima organ cangkokan
7.
Penderita AIDS
Serangan pneumonia pneumokokus biasanya
mendadak, dengan demam, menggigil, dan nyeri pleura yang nyata. Dahak mirip
dengan eksudat alveoli, mengandung darah atau seperti karat. Pada permulaan
penyakit, ketika demam tinggi, terdapat bakteremia dalam 10-20% kasus. Sebelum
adanya kemoterapi, penyembuhan penyakit dimulai antara hari kelima dan hari
kesepuluh karena pada saat itu timbul antibodi tipe spesifik. Angka kematian
mencapai 30%, bergantung pada usia dan penyakit yang mendasarinya. Pneumonia
yang disertai bekteremia selalu menyebabkan angka kematian yang paling tinggi.
Dengan terapi antimikroba, penyakit dapat sembuh dengan cepat, bila diberikan
dari awal, timbulnya konsolidasi dapat dihalangi.
Dari saluran pernapasan, pneumokokus
dapat mencapai tempat-tempat lain. Sinus-sinus dan telinga tengah paling sering
terserang. Infeksi kadang-kadang meluas dari mastoid sampai selaput otak.
Bakteremia dari pneumonia mempunyai tiga komplikasi yang hebat yaitu
meningitis, endokarditis, dan arthritis septic. Dengan kemoterapi dini jarang
terjadi endokarditis pneumokokus akut maupun arthritis.
3. Penyakit
yang ditimbulkan
Streptococcus
pneumoniae adalah penghuni normal pada saluran
pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis,
otitis, bronchitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya.
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada
dikerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia
tua, atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan memyebabkan
kerusakan .
Seluruh jaringan paru dipenuhi oleh cairan dan infeksi cepat menyebar ke
seluruh tubuh melalui cairan darah. Pasien yang terinfeksi pneumonia akan panas
tinggi, berkeringat, napas terengah-engah, dan denyut jantungnya meningkat
cepat. Bibir dan kuku membiru karena tubuh kekurangan oksigen. Pada kasus yang
ekstrim, pasien akan menggigil, gigi bergemelutuk, sakit dada, dan kalau batuk
mengeluarkan lendir berwarna hijau. Sebelum terlambat, penyakit ini masih bis
adiobati. Bahkan untuk pencegahannay vaksinnya pun sudah tersedia.
Streptococcus
pneumoniae adalah sel gram positifyang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit
salah satunya adalah pneumonia. Pneumonia adalah peradangan paru-paru yang
disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur
atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya
ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).
Serangan pneumoniapneumokokus biasanya mendadak, dengan demam, menggigil, dan
nyeri pleura yang nyata. Pengobatan pneumonia dapat dilakukan dengan memberikan
antibiotic penisilin G atau V atau oral, sedang yang tidak kuat diberi
sefalosporin.
4. Pencegahan
Untuk orang-orang yang rentan
terhadap pneumonia, latihan bernafas dalam dan terapi untuk membuang dahak,
bisa membantu mencegah terjadinya pneumonia. Vaksinasi bisa membantu mencegah
beberapa jenis pneumonia pada anak-anak dan orang dewasa yang beresiko tinggi:
• Vaksin pneumokokus (untuk mencegah
pneumonia karena Streptococcus
pneumoniae)
• Vaksin flu
• Vaksin Hib (untuk mencegah pneumonia
karena Haemophilus influenzae type
5. Pengobatan
Pengobatan pneumonia dilakukan oleh
dokter. Pengobatan terhadap kuman diberi suntikan antibiotik misalnya penisilin
G ( atau V atau oral ) sedangkan yang tidak tahan diberi sefalosporin. Untuk
membunuh virus diberi obat isoprinosin. Selain obat-obatan perlu pula dijaga
agar penderita mendapat makanan yang bergizi serta banyak mengandung zat putih
telur dan vitamin.
Langganan:
Postingan (Atom)